Pages

Friday, January 24

perihal: rumah

Aku menghamburkan pandangan keluar. Suasana sunyi. Ini rumah baru, jarak baru buat kita. Aku meniti jalan perlahan dari kamar tidur menuju dapur, kembali lagi, dan menuju teras. Ini pukul berapa?
Surat kabar masih terlipat rapi, di meja kayu. Seperti bagaimana aku meletakkannya tadi pagi. Biasanya, setelah aku pulang, ada kamu yang sudah membolak-balik berita. Melahap setiap kata, dan sampai pada kesimpulan “ah, hidup di jaman seperti ini memang berat.”
Semua yang ada di rumah ini seakan memberi spasi kepadaku, seakan rumah baru yang telah kutinggali bertahun-tahun ini melapang dengan terlalu.
Aku masih bisa mendengar suaramu yang berkomentar tentang kemacetan, dan juga mesin photo copy dari ruang kerjamu. Masih juga mencium bau rambutmu di bantal yang kau tinggalkan. Bagian sisi tempat tidurmu jadi terlalu rapi, setiap pagi. Bahkan pagi ini aku otomatis mengetik di layar hp bahwa aku sudah sampai di kantor. Aku tertegun, ketika tidak tahu untuk siapa itu dikirim.Aku baru sadar, aku sedang mengaduk coklat hangat dengan ekstra gula, minuman kesukaanmu. Tiba-tiba saja aku merasa kehilangan keseimbangan.
Aku terus menimbang dan menimang langkah apa yang harus kuambil. Pilihannya: a) melanjutkan hidup; atau b) memintamu kembali. Tapi kau tahu, dan terlebih aku tahu. Itu bukan kita. Itu bukan aku.
Kita akan tetap terlalu egois, dan berjalan sendiri dalam kehampaan. Kembali pulang ketika kita sudah tidak kuat lagi menanggung semuanya. Lalu memperbaiki apa yang sudah tidak mampu diperbaiki. Kemudian saling mencintai, seakan tidak terjadi apa-apa.
Jadi aku mengumpulkan semua barangmu, dan kusimpan di bawah kasur. Mengirim surel bahwa semua barang yang tertinggal akan kukirimkan besok. Mungkin dalam 3-4 hari kurir akan sudah sampai di rumahmu.

Selain itu aku juga mengemasi barang-barangku, pindah. Untuk apa tetap disini. Ini bukan rumah lagi, ketika kehadiranmu semakin tenggelam dibanding timbul.

No comments:

Post a Comment