Aku
menghamburkan pandangan keluar. Suasana sunyi. Ini rumah baru, jarak baru buat
kita. Aku meniti jalan perlahan dari kamar tidur menuju dapur, kembali lagi,
dan menuju teras. Ini pukul berapa?
Surat
kabar masih terlipat rapi, di meja kayu. Seperti bagaimana aku meletakkannya
tadi pagi. Biasanya, setelah aku pulang, ada kamu yang sudah membolak-balik
berita. Melahap setiap kata, dan sampai pada kesimpulan “ah, hidup di jaman seperti ini memang berat.”
Semua
yang ada di rumah ini seakan memberi spasi kepadaku, seakan rumah baru yang
telah kutinggali bertahun-tahun ini melapang dengan terlalu.
Aku
masih bisa mendengar suaramu yang berkomentar tentang kemacetan, dan juga mesin
photo copy dari ruang kerjamu. Masih juga mencium bau rambutmu di bantal yang
kau tinggalkan. Bagian sisi tempat tidurmu jadi terlalu rapi, setiap pagi.
Bahkan pagi ini aku otomatis mengetik di layar hp bahwa aku sudah sampai di
kantor. Aku tertegun, ketika tidak tahu untuk siapa itu dikirim.Aku baru sadar,
aku sedang mengaduk coklat hangat dengan ekstra gula, minuman kesukaanmu. Tiba-tiba
saja aku merasa kehilangan keseimbangan.
Aku
terus menimbang dan menimang langkah apa yang harus kuambil. Pilihannya: a)
melanjutkan hidup; atau b) memintamu kembali. Tapi kau tahu, dan terlebih aku
tahu. Itu bukan kita. Itu bukan aku.
Kita
akan tetap terlalu egois, dan berjalan sendiri dalam kehampaan. Kembali pulang
ketika kita sudah tidak kuat lagi menanggung semuanya. Lalu memperbaiki apa yang
sudah tidak mampu diperbaiki. Kemudian saling mencintai, seakan tidak terjadi
apa-apa.
Jadi
aku mengumpulkan semua barangmu, dan kusimpan di bawah kasur. Mengirim surel
bahwa semua barang yang tertinggal akan kukirimkan besok. Mungkin dalam 3-4
hari kurir akan sudah sampai di rumahmu.
Selain
itu aku juga mengemasi barang-barangku, pindah. Untuk apa tetap disini. Ini
bukan rumah lagi, ketika kehadiranmu semakin tenggelam dibanding timbul.
No comments:
Post a Comment