Pages

Friday, January 24

surat

Januari, 2014

Selamat pagi, siang, malam. Kapanpun kamu membaca surat ini.
Tak terasa ya sekarang sudah tahun 2014. Tak terasa juga sekarang kita juga sudah sama-sama duduk di universitas.
Rasanya baru kemarin aku duduk di sebagai murid kelas X SMA.

spiced milk

Hi, guys! I’ve been feeling under the weather lately, so that’s pretty much why i choose to post this.
Anyway, everyone loves spiced milk, right? Especially when it rains a lot.
So here’s my own recipe.

perihal: rumah

Aku menghamburkan pandangan keluar. Suasana sunyi. Ini rumah baru, jarak baru buat kita. Aku meniti jalan perlahan dari kamar tidur menuju dapur, kembali lagi, dan menuju teras. Ini pukul berapa?
Surat kabar masih terlipat rapi, di meja kayu. Seperti bagaimana aku meletakkannya tadi pagi. Biasanya, setelah aku pulang, ada kamu yang sudah membolak-balik berita. Melahap setiap kata, dan sampai pada kesimpulan “ah, hidup di jaman seperti ini memang berat.”
Semua yang ada di rumah ini seakan memberi spasi kepadaku, seakan rumah baru yang telah kutinggali bertahun-tahun ini melapang dengan terlalu.
Aku masih bisa mendengar suaramu yang berkomentar tentang kemacetan, dan juga mesin photo copy dari ruang kerjamu. Masih juga mencium bau rambutmu di bantal yang kau tinggalkan. Bagian sisi tempat tidurmu jadi terlalu rapi, setiap pagi. Bahkan pagi ini aku otomatis mengetik di layar hp bahwa aku sudah sampai di kantor. Aku tertegun, ketika tidak tahu untuk siapa itu dikirim.Aku baru sadar, aku sedang mengaduk coklat hangat dengan ekstra gula, minuman kesukaanmu. Tiba-tiba saja aku merasa kehilangan keseimbangan.
Aku terus menimbang dan menimang langkah apa yang harus kuambil. Pilihannya: a) melanjutkan hidup; atau b) memintamu kembali. Tapi kau tahu, dan terlebih aku tahu. Itu bukan kita. Itu bukan aku.
Kita akan tetap terlalu egois, dan berjalan sendiri dalam kehampaan. Kembali pulang ketika kita sudah tidak kuat lagi menanggung semuanya. Lalu memperbaiki apa yang sudah tidak mampu diperbaiki. Kemudian saling mencintai, seakan tidak terjadi apa-apa.
Jadi aku mengumpulkan semua barangmu, dan kusimpan di bawah kasur. Mengirim surel bahwa semua barang yang tertinggal akan kukirimkan besok. Mungkin dalam 3-4 hari kurir akan sudah sampai di rumahmu.

Selain itu aku juga mengemasi barang-barangku, pindah. Untuk apa tetap disini. Ini bukan rumah lagi, ketika kehadiranmu semakin tenggelam dibanding timbul.

Monday, January 6

untitled

Kali ini aku bangun dengan perasaan aneh. Hampir menyerupai perasaan kosong dan hampa. Tanpa ada yang benar benar bisa kujelaskan. Aku memulai hari dengan biasa, walaupun dengan perasaan yang sangat ganjil dibanding biasanya. Aneh.
Dan kau datang lagi, menjemputku. Kau mengucapkan kata cinta, di selingi kecupan manis di dahi. Aku membalasnya. Tapi entah, ada yang hilang. Biasanya aku mampu menjelaskan perbedaannya. Bahwa ketika kita sama-sama mengatakan kata cinta, yang aku tahu bedanya denganmu adalah aku tidak berbohong.
Tapi tidak kali ini. kata-kata itu terlalu munafik. Seperti perasaan yang seharusnya kau rasakan, tetapi tidak kau rasakan. Seperti ketika kau terlambat tes, dan kau seharusnya takut atau cemas. Tetapi tidak merasakan itu. peraasaan yang tertinggal hanya setipis kertas. Lalu hilang. Tidak jelas.
Yang aku tahu mulutku berbicara, tetapi tidak yang lain. Dan aku hanya bisa bungkam. Aku terlalu pengecut untuk mengatakan ini secara langsung padamu. Menyedihkan. Aku tidak mampu menghadapi kau yang salah paham. Kau yang hancur. Dan kau yang akan menyalahkan keadaan.
Entah kenapa perasaan yang ringan itu justru membuatku merasakan seperti hatiku terganjal batu. Aku menatapmu. Tatapanmu masih sama. Kata-katamu masih sama. Harum tubuhmu juga masih sama. Lalu apa yang berubah? Apa aku? Apa kau?
“can we love someone just as much as the first time, if they have changed.”
Kau menanyakan ada apa, apa aku sakit, apa aku sedang sedih. Tetapi aku tidak mampu menjawab. Apa yang bisa kusampaikan padamu? Aku tidak mampu menyampaikannya. Setelah sekian tahun bersama, sekian canda dan amarah yang bersama kita. Mampukah aku mengatakan aku tidak merasakan yang sama lagi? mampukah aku mengatakan aku merasakan ruang kosong yang tak terisi bersamamu? Mampukah aku berkata langsung kepadanya bahwa aku keluar dari laga ini? tegakah aku?
Setelah sekian lama kupupuk kepercayaannya. Kutepis cabang-cabang liar yang menyakitkan ‘kita’. Kemudian begitu saja melepaskan apa yang kita rawat bersama-sama. Aku memang tidak mampu. Tidak mampu menyakitimu. Tetapi itu berarti menyakitiku.
Aku tidak sanggup menyakitimu bukan berarti aku masih mencintaimu. Aku tidak mencintai orang lain, juga bukan berarti aku masih mencintaimu. Beberapa hal memang terlalu menyakitkan untuk dijelaskan secara gamblang.
Kau telah menjagaku selama ini. maka kini giliranku menjagamu.

“if it hurts you so much, how can it possibly be the right thing for you?”-Eclipse

mari kita menulis

“Mari kita menulis, melukis. Kisah kamu, kisah kasih kamu.” Jerit hati, sambil menarik tangan yang ogah-ogahan.
“Untuk apa?” balas pikiran sinis. “belum capek? Kamu mau sekali lagi diterpa, diserbu, hal-hal tentangnya bagai godam tanpa ampun. Kuburkanlah lara, leburlah.”

            Juli datang lagi, intensitas hujan semakin berkurang. Aku pikir hujan akan terus mengguyur sepanjang tahun. Aku salah.
Juli pertama tanpa kamu.
Di bulan Juli ini hati dan pikiran rasanya masih belum bisa akur. Hati masih menekuri luka, sementara pikiran sudah siap terbuka.
Tapi aku punya keputusan sendiri. Yang mungkin memaksa hati, dan tidak dapat dimengerti pikiran. Aku akan meninggalkan kenangan.  Karena selama di bulan Juli aku terlalu menunggalkan kamu, yang nyatanya menanggalkan aku diluar sana.
“tapi kenapa? Dulu kamu pernah bahagia bersamanya? Pernah bersandar di lengkungan senyumnya.”
“mungkin dulu kamu memang yang terlalu buta, maka sekarang kamu selalu berduka. Selalu memikirkan rindu, tetapi hanya sendu yang hadir. Dungu.”

            Aku tersenyum miris, paling tidak kali ini pikiran dan hati sudah akur.