Aku
mencoba membuat ini tidak terasa sakit. aku mencoba menjalani semua seperti
baik-baik saja. Kau masih sahabatku. Walaupun dengan persahabatan yang kita
bangun bertahun tahun ini kau masih belum bisa mengerti perasaanku. Seperti
biasa, kita tertawa, bercanda, menonton. Seperti biasa, kau mengacak rambutku,
mengambil jatah makan siangku, dan berbuat usil. Dan seperti biasa, aku berpura
marah supaya kau memohon, aku menahan tawa, dan menahan perasaan.
Aku tidak pernah menyangka
bahwa persahabatan akan sesakit ini. aku mengerti jika cinta, lagu cinta sudah
banyak menjelaskan bagaimana sakitnya cinta. Tapi kamu kan hanya seorang
sahabatku. Seorang yang akan menyiapkan bahunya ketika aku menangis. Seorang
yang akan mencium pipiku jika aku punya kabar gembira. Seorang yang akan
marah-marah jika orang lain berbuat jahat padaku.
Semua tidak pernah terasa sakit
hingga kau berkata, dengan senyum sumringahmu. Menyambutku dengan tenang di
bangkumu, ketika aku telat pagi itu-seperti biasa. Kau menunggu tidak sabar hingga
aku meletakkan tas dan menyiapkan bukuku. Juga hingga guru sibuk menulis di
papan tulis, sebelum menceritakan hal yang sangat membuatmu sumringah.
“aku ditelfon semalem! Mau
datang ke rumahku nanti malam. Aku nggak sabar deh, beb!”
Aku tahu siapa yang kau maksud.
Cowok dari kelas ipa,yang kau taksir dua bulan belakangan ini. dan tiba-tiba
hatiku terasa jatuh ke perut. Tetapi tak urung aku membalas pelukanmu. Kemudian
kau sibuk kembali dengan buku catatanmu. Tanpa tahu berapa dalam kesakitan yang
harus ditanggung sebuah senyuman di wajahku ini.
Aku tidak tahu apa ini, yang
jelas aku tahu ini adalah suatu hal yang salah. Aku benci perasaan ini. aku
belum pernah menyembunyikan apapun kepadamu. Mungkin beberapa hal memang harus
disembunyikan. Kita memang tidak pernah bisa sepenuhnya jujur kepada orang
lain.
Tetapi aku tidak pernah setidak
jujur ini kepadamu. Dan kurasa ini akan menjadi kebohongan yang akan terus
berlanjut. Sepertinya aku tidak salah dengan hal yang satu ini. aku
terus-terusan menyembunyikan perasaanku.
Hingga suatu petang kau
meneleponku. Beberapa hari terakhir kau bercerita tentang anak ipa itu, yang
sekarang semakin susah dihubungi, dan semakin jarang menghubungi. Aku tahu kau
mulai merasa kehilangan. Saat itu aku merasa jahat, karena merasa lega. Aku
berharap kau menelepon dengan topik yang sama. Dia yang kehilangan minat
terhadapmu. Dan kita menjalani lagi, hari persahabatan kita. Tanpa interupsi
dari orang lain. Kau milikku. Maaf.
Tetapi, yang terjadi
sebaliknya. kau malah menelepon dengan terburu-buru. Mengajakku bertemu di satu
teashop kesukaan kita. Harapanku terlanjur melambung. Kupikir kau akan
bercerita sangat banyak hingga tidak bisa diceritakan melalui telepon. Hingga
kau tidak bisa bercerita dengan tenang, tanpa usapan tanganku di punggungmu.
Ya, yang terjadi memang
sebaliknya. kamu jadian. Dengan cowok ipa idamanmu itu. dan aku? Aku ingin
menangis. Dalam anganku, aku berteriak dan memecahkan gelas-gelas cantik di
meja itu. tapi tidak. aku tetap disini. Menunggumu bercerita, hingga euforiamu
sedikit reda.
Tapi aku masih bisa menjadi
sahabatmu, kan? Hal-hal yang tidak bisa kau ceritakan pada kekasihmu, pada
ibumu, pada abangmu akan kau ceritakan padaku. Itu benar, bukan? Dan kau, kau
akan masih peduli padaku bukan? Iya kan? Aku tidak seharusnya marah.
Ternyata memang benar. Lebih
mudah mengatakan dari pada menjalankan. Apa yang dipikiran terlihat begitu
mudah dan mantap. Ternyata diserbu keraguan dan goyah melihat kebahagiaan yang
terpancar dari matamu. Kebahagiaan yang berbeda dari yang selama ini aku
perhatikan.
Raut mukamu sangat berbeda.
Seakan kau bercahaya karena semangatmu. Dan seolah semua yang berada di
sekitarmu tertular energi positif yang kau rasakan. Kenapa aku tidak? untuk
sekali ini, kenapa aku bisa tidak merasakan apa yang kau rasakan?
Aku marah. Lagi.
Kau mampir dulu ke rumahku.
Karena ternyata masih ada segudang lagi yang hendak kau bicarakan. Bagaimana
dia begitu romantis mengatur semuanya, ya, cowok ipamu itu. bagaimana dia
memutuskan untuk mendiamkanmu untuk kejutan. Sakit. mendengarkanmu, dan
mengetahui kita tidak mampu untuk merasakan yang sama satu sama lain. Kau
terhadapku paling tidak.
“tapi aku menyayangimu.” Tanpa
sadar kuteteskan air mata.
“kamu kenapa, Bill?” tanyamu
cemas. Ternyata kau tidak mendengarku. Entah itu bagus atau buruk. amarahku
memuncak lagi.
“it
never hurts untill tonight.”
“aku cemburu! Puas? Aku
sahabatmu bertahun-tahun ini, cemburu. Bukan karena waktumu akan berkurang lagi
denganku. Tapi karena dia! Aku mau kau sepenuhnya milikku. Seperti aku
sepenuhnya milikmu. Kenapa? Aku mencintaimu. Kenapa jika dia bisa merebut
hatimu dalam beberapa bulan, kenapa tidak aku? Aku sahabatmu! Bertahun-tahun!”
“tapi.. aku memang mencintaimu,
Bill. Kau sahabatku.” Tatapan jijik tampak di matamu, dan aku malu.
“karena itu! tidak seharusnya
kau bersamanya.”
“kau perempuan, Billiana! Aku
juga, karena itu aku tidak mampu mencintaimu!”
“tapi bagaimana dengan
perasaanku?”
“aku nggak peduli, Bill. I dont
know you, anymore!” dan kau meninggalkanku terabaikan.
“it
never hurts untill you said ‘I don’t care.’”
No comments:
Post a Comment