Pages

Friday, June 14

it never hurts until you said 'I don't care'

Aku mencoba membuat ini tidak terasa sakit. aku mencoba menjalani semua seperti baik-baik saja. Kau masih sahabatku. Walaupun dengan persahabatan yang kita bangun bertahun tahun ini kau masih belum bisa mengerti perasaanku. Seperti biasa, kita tertawa, bercanda, menonton. Seperti biasa, kau mengacak rambutku, mengambil jatah makan siangku, dan berbuat usil. Dan seperti biasa, aku berpura marah supaya kau memohon, aku menahan tawa, dan menahan perasaan.
Aku tidak pernah menyangka bahwa persahabatan akan sesakit ini. aku mengerti jika cinta, lagu cinta sudah banyak menjelaskan bagaimana sakitnya cinta. Tapi kamu kan hanya seorang sahabatku. Seorang yang akan menyiapkan bahunya ketika aku menangis. Seorang yang akan mencium pipiku jika aku punya kabar gembira. Seorang yang akan marah-marah jika orang lain berbuat jahat padaku.
Semua tidak pernah terasa sakit hingga kau berkata, dengan senyum sumringahmu. Menyambutku dengan tenang di bangkumu, ketika aku telat pagi itu-seperti biasa. Kau menunggu tidak sabar hingga aku meletakkan tas dan menyiapkan bukuku. Juga hingga guru sibuk menulis di papan tulis, sebelum menceritakan hal yang sangat membuatmu sumringah.
“aku ditelfon semalem! Mau datang ke rumahku nanti malam. Aku nggak sabar deh, beb!”
Aku tahu siapa yang kau maksud. Cowok dari kelas ipa,yang kau taksir dua bulan belakangan ini. dan tiba-tiba hatiku terasa jatuh ke perut. Tetapi tak urung aku membalas pelukanmu. Kemudian kau sibuk kembali dengan buku catatanmu. Tanpa tahu berapa dalam kesakitan yang harus ditanggung sebuah senyuman di wajahku ini.
Aku tidak tahu apa ini, yang jelas aku tahu ini adalah suatu hal yang salah. Aku benci perasaan ini. aku belum pernah menyembunyikan apapun kepadamu. Mungkin beberapa hal memang harus disembunyikan. Kita memang tidak pernah bisa sepenuhnya jujur kepada orang lain.
Tetapi aku tidak pernah setidak jujur ini kepadamu. Dan kurasa ini akan menjadi kebohongan yang akan terus berlanjut. Sepertinya aku tidak salah dengan hal yang satu ini. aku terus-terusan menyembunyikan perasaanku.
Hingga suatu petang kau meneleponku. Beberapa hari terakhir kau bercerita tentang anak ipa itu, yang sekarang semakin susah dihubungi, dan semakin jarang menghubungi. Aku tahu kau mulai merasa kehilangan. Saat itu aku merasa jahat, karena merasa lega. Aku berharap kau menelepon dengan topik yang sama. Dia yang kehilangan minat terhadapmu. Dan kita menjalani lagi, hari persahabatan kita. Tanpa interupsi dari orang lain. Kau milikku. Maaf.
Tetapi, yang terjadi sebaliknya. kau malah menelepon dengan terburu-buru. Mengajakku bertemu di satu teashop kesukaan kita. Harapanku terlanjur melambung. Kupikir kau akan bercerita sangat banyak hingga tidak bisa diceritakan melalui telepon. Hingga kau tidak bisa bercerita dengan tenang, tanpa usapan tanganku di punggungmu.
Ya, yang terjadi memang sebaliknya. kamu jadian. Dengan cowok ipa idamanmu itu. dan aku? Aku ingin menangis. Dalam anganku, aku berteriak dan memecahkan gelas-gelas cantik di meja itu. tapi tidak. aku tetap disini. Menunggumu bercerita, hingga euforiamu sedikit reda.
Tapi aku masih bisa menjadi sahabatmu, kan? Hal-hal yang tidak bisa kau ceritakan pada kekasihmu, pada ibumu, pada abangmu akan kau ceritakan padaku. Itu benar, bukan? Dan kau, kau akan masih peduli padaku bukan? Iya kan? Aku tidak seharusnya marah.
Ternyata memang benar. Lebih mudah mengatakan dari pada menjalankan. Apa yang dipikiran terlihat begitu mudah dan mantap. Ternyata diserbu keraguan dan goyah melihat kebahagiaan yang terpancar dari matamu. Kebahagiaan yang berbeda dari yang selama ini aku perhatikan.
Raut mukamu sangat berbeda. Seakan kau bercahaya karena semangatmu. Dan seolah semua yang berada di sekitarmu tertular energi positif yang kau rasakan. Kenapa aku tidak? untuk sekali ini, kenapa aku bisa tidak merasakan apa yang kau rasakan?
Aku marah. Lagi.
Kau mampir dulu ke rumahku. Karena ternyata masih ada segudang lagi yang hendak kau bicarakan. Bagaimana dia begitu romantis mengatur semuanya, ya, cowok ipamu itu. bagaimana dia memutuskan untuk mendiamkanmu untuk kejutan. Sakit. mendengarkanmu, dan mengetahui kita tidak mampu untuk merasakan yang sama satu sama lain. Kau terhadapku paling tidak.
“tapi aku menyayangimu.” Tanpa sadar kuteteskan air mata.
“kamu kenapa, Bill?” tanyamu cemas. Ternyata kau tidak mendengarku. Entah itu bagus atau buruk. amarahku memuncak lagi.
“it never hurts untill tonight.”
“aku cemburu! Puas? Aku sahabatmu bertahun-tahun ini, cemburu. Bukan karena waktumu akan berkurang lagi denganku. Tapi karena dia! Aku mau kau sepenuhnya milikku. Seperti aku sepenuhnya milikmu. Kenapa? Aku mencintaimu. Kenapa jika dia bisa merebut hatimu dalam beberapa bulan, kenapa tidak aku? Aku sahabatmu! Bertahun-tahun!”
“tapi.. aku memang mencintaimu, Bill. Kau sahabatku.” Tatapan jijik tampak di matamu, dan aku malu.
“karena itu! tidak seharusnya kau bersamanya.”
“kau perempuan, Billiana! Aku juga, karena itu aku tidak mampu mencintaimu!”
“tapi bagaimana dengan perasaanku?”
“aku nggak peduli, Bill. I dont know you, anymore!” dan kau meninggalkanku terabaikan.
“it never hurts untill you said ‘I don’t care.’”

No comments:

Post a Comment