Aku masih ingat Rabu sore di
pertengahan bulan Juli tahun lalu. Ketika kau masih mampu duduk di sebelahku
dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan bodohmu, di sudut coffe shop di bilangan
Semarang Selatan. Aku masih ingat bagaimana rambut hitammu jatuh menutupi
sebagian wajahmu. Menghalangi pemandanganku. Aku masih ingat gerak bibirmu yang
merefleksikan setiap kata dalam novel baruku yang kucetak di kertas HVS putih.
Pemborosan, katamu. Aku ingat bagaimana kau menghindar dan tersenyum jahil
ketika tanganku hendak menyelipkan rambutmu di belakang leher.
Aku mengingat semua itu tanpa satu
momen luput. Semua detail terkecil, namun juga terindah. Dan sayangnya, tidak
hanya memori yang tinggal tapi juga perasaan itu. perasaan dimana kau kembali
menegaskan bahwa kita hanya sekedar sahabat. Walaupun kuyakin kau sebenarnya
menyimpan rasa yang sama denganku. Rabu sore itu juga kamu menegaskan dengan
penekanan bahwa kita baik-baik saja. Bahwa hingga sekarang kita hanya sahabat,
seperti 5 tahun yang lalu.
“aku nggak bisa, kemal.” Jawabmu
lirih sambil tersenyum.
Pada kenyataannya tidak seperti itu.
kita bukan lagi sepasang remaja polos yang baru pertama masuk ke SMA seperti 5
tahun sebelumnya. Kita bahkan bukan anak 2 tahun sebelumnya yang saling
mencorengkan pilox di seragam masing-masing. Kita adalah pasangan seperti
sebulan sebelumnya. Ketika aku menyatakan bahwa aku ingin sesuatu yang lebih
serius dan berkomitmen darimu.
“apa lagi yang lebih berkomitmen
dari apa yang kita telah bangun bertahun-tahun bersama ini?” ungkapmu.
Aku saat itu sudah lelah dengan
mencari. Dan aku mau mengakhiri pencarian dan permainan itu denganmu. Aku
melontarkan semua omong kosong tentang soulmate
atau pasangan jiwa. Dan kau menegaskan bahwa soulmate tidak harus sebagai
sebuah pasangan kekasih. Dan aku marah. Aku marah, malu, dan kecewa terhadapmu.
Tetapi itu hanya membuatku tersiksa.
Jadi aku memutuskan untuk melepaskan
segala emosiku malam itu. jadi kita kembali pada bulan Juli, dimana kau duduk
dan melahap setiap kata yang terdapat dihadapanmu. Kita kembali seperti tidak
pernah berubah. Aku masih bisa membayangkan bagaimana kata-kata yang bermain di
pikiranmu beradaptasi menjadi sebuah film di otakmu.
Apakah aku pemainnya? Apakah kau? Atau
aktor yang baru naik daun yang kaulihat di billboard pinggir jalan itu? atau
kau memilih wajah-wajah asing yang belum kau kenal untuk memainkannya? Siapapun
itu, dia berhasil menyedot seluruh perhatianmu. Dan aku cemburu.
Ketika kau membaca novelku aku
cemburu. Aku cemburu pada cerita yang kutulis. Aku cemburu pada alur yang
kuarahkan. Aku cemburu pada tokoh yang kuciptakan. Aku cemburu pada konflik
yang kutimbulkan. Apapun itu, jika kau lebih terfokus padanya aku cemburu.
Singkat cerita aku menyingkirkan
novelku malam itu. aku mengungkit lagi masalah yang sama dengan sebulan
sebelumnya. Dan kau bersikeras bahwa kau hanya akan memperlambatku. Aku tidak
peduli, jika itu yang kau khawatirkan. Aku tidak keberatan, jika itu yang kau
takutkan. Kau menangis, dan terluka. Itu menghancurkanku, terlebih aku yang
menyebabkan itu semua.
“apapun yang terjadi, jangan kembali
ke tempat itu.” kau mengambil gerakan mundur. Dan meninggalkanku. Ada masa
dalam remajaku sebagai mahasiswa yang terpuruk ke bab-bab bodoh penuh konflik.
Terlibat obat, pembakaran fasilitas publik, dan minuman keras. Terimakasih padamu
aku terbebas dari itu semua. Terima kasih padamu lagi, aku dalam perjalananku
menuju bab itu lagi.
Malam itu aku menghabiskan waktu di
pub yang sudah lama sekali tidak kudatangi. Aku menegak bir dari botol berleher
panjang. Aku tidak berencana untuk mabuk, hanya melepas penat. Aku hendak
keluar dari pub itu karena merasa akan butuhnya asupan nikotin dalam darahku.
Ketika aku lihat kau tepat di luar pintu pub dengan kursi rodamu, terpapar
hujan. Aku pikir aku bermimpi, dan terlalu banyak minum. Tapi itu benar dirimu.
Jadi aku keluar, meletakkan rokok dan botolku, serta memasukkan kembali zippo
ke dalam kantung celana.
Aku hendak marah padamu karena
bersikap begitu bodoh. Aku hendak memakimu, hendak mendebatmu, dan baru
kemudian akan memaksamu masuk mobilku dan mengantarmu pulang. Tetapi ketika
tiba di hadapanmu aku hanya tergugu. Terjatuh di kedua lututku, membuat kita
menjadi sama tinggi. Ironisnya, hal ini terlihat lucu. Kita sama tinggi,
seperti di awal-awal persahabatan kita. Ketika kau masih lincah dengan dua kaki
mungilmu. Ketika kau dengan seluruh kegiatan kakimu menari, berjalan, melompat,
berlari.
Entah bagaimana, kita sepakat untuk
memulai dari awal lagi. Sebagai pasangan yang benar-benar baru. kita naik ke
dalam mobilku dengan tawa dan canda.
***
“aku sudah menemukan semua bukti
yang ada. Apapun yang kau perlukan. Ini truk dan supirnya yang mabuk yang
menabrak SUV kalian tahun lalu. Aku menemukan tempat tinggalnya, sekarang ia
menjadi buruh bangunan tidak tetap. Aku sudah mengurus semuanya, kau bisa
menuntutnya.” Suara Jess membuyarkan lamunanku. Aku tidak yakin sejak kapan dia
datang, yang pasti dia sudah duduk sangat nyaman di kursi di hadapanku.
Aku menatap photo yang disodorkannya
kepadaku. Seorang lelaki berusia 40-an dengan kumis tebal, dan bekas luka di
wajahnya. Sesaat perasaan panas seperti hendak menelanku. Tetapi hanya
sebentar.
“cari, dan beri dia beri pekerjaan.”
Aku berdiri hendak meninggalkan ruanganku.
“kupikir kau mau membalaskan
dendammu selama ini? penghormatan terhadap sahabatmu yang terenggut nyawanya.”
“aku sudah.” Aku membalik badan dan
berjalan perlahan keluar menggunakan dua tongkat bantuku. Menuju kemana belum
pasti, mungkin coffe shop yang belum pernah berani kuinjak setahun terakhir
ini. yang pasti kali ini tanpa rasa takut. Sekarang kau bisa tidur lelap,
Naomi.
No comments:
Post a Comment