Pages

Tuesday, June 26

lelaplah kau sahabat


            Aku masih ingat Rabu sore di pertengahan bulan Juli tahun lalu. Ketika kau masih mampu duduk di sebelahku dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan bodohmu, di sudut coffe shop di bilangan Semarang Selatan. Aku masih ingat bagaimana rambut hitammu jatuh menutupi sebagian wajahmu. Menghalangi pemandanganku. Aku masih ingat gerak bibirmu yang merefleksikan setiap kata dalam novel baruku yang kucetak di kertas HVS putih. Pemborosan, katamu. Aku ingat bagaimana kau menghindar dan tersenyum jahil ketika tanganku hendak menyelipkan rambutmu di belakang leher.
            Aku mengingat semua itu tanpa satu momen luput. Semua detail terkecil, namun juga terindah. Dan sayangnya, tidak hanya memori yang tinggal tapi juga perasaan itu. perasaan dimana kau kembali menegaskan bahwa kita hanya sekedar sahabat. Walaupun kuyakin kau sebenarnya menyimpan rasa yang sama denganku. Rabu sore itu juga kamu menegaskan dengan penekanan bahwa kita baik-baik saja. Bahwa hingga sekarang kita hanya sahabat, seperti 5 tahun yang lalu.
            “aku nggak bisa, kemal.” Jawabmu lirih sambil tersenyum.
            Pada kenyataannya tidak seperti itu. kita bukan lagi sepasang remaja polos yang baru pertama masuk ke SMA seperti 5 tahun sebelumnya. Kita bahkan bukan anak 2 tahun sebelumnya yang saling mencorengkan pilox di seragam masing-masing. Kita adalah pasangan seperti sebulan sebelumnya. Ketika aku menyatakan bahwa aku ingin sesuatu yang lebih serius dan berkomitmen darimu.
            “apa lagi yang lebih berkomitmen dari apa yang kita telah bangun bertahun-tahun bersama ini?” ungkapmu.
            Aku saat itu sudah lelah dengan mencari. Dan aku mau mengakhiri pencarian dan permainan itu denganmu. Aku melontarkan semua omong kosong tentang soulmate atau pasangan jiwa. Dan kau menegaskan bahwa soulmate tidak harus sebagai sebuah pasangan kekasih. Dan aku marah. Aku marah, malu, dan kecewa terhadapmu. Tetapi itu hanya membuatku tersiksa.
            Jadi aku memutuskan untuk melepaskan segala emosiku malam itu. jadi kita kembali pada bulan Juli, dimana kau duduk dan melahap setiap kata yang terdapat dihadapanmu. Kita kembali seperti tidak pernah berubah. Aku masih bisa membayangkan bagaimana kata-kata yang bermain di pikiranmu beradaptasi menjadi sebuah film di otakmu.
            Apakah aku pemainnya? Apakah kau? Atau aktor yang baru naik daun yang kaulihat di billboard pinggir jalan itu? atau kau memilih wajah-wajah asing yang belum kau kenal untuk memainkannya? Siapapun itu, dia berhasil menyedot seluruh perhatianmu. Dan aku cemburu.
            Ketika kau membaca novelku aku cemburu. Aku cemburu pada cerita yang kutulis. Aku cemburu pada alur yang kuarahkan. Aku cemburu pada tokoh yang kuciptakan. Aku cemburu pada konflik yang kutimbulkan. Apapun itu, jika kau lebih terfokus padanya aku cemburu.
            Singkat cerita aku menyingkirkan novelku malam itu. aku mengungkit lagi masalah yang sama dengan sebulan sebelumnya. Dan kau bersikeras bahwa kau hanya akan memperlambatku. Aku tidak peduli, jika itu yang kau khawatirkan. Aku tidak keberatan, jika itu yang kau takutkan. Kau menangis, dan terluka. Itu menghancurkanku, terlebih aku yang menyebabkan itu semua.
            “apapun yang terjadi, jangan kembali ke tempat itu.” kau mengambil gerakan mundur. Dan meninggalkanku. Ada masa dalam remajaku sebagai mahasiswa yang terpuruk ke bab-bab bodoh penuh konflik. Terlibat obat, pembakaran fasilitas publik, dan minuman keras. Terimakasih padamu aku terbebas dari itu semua. Terima kasih padamu lagi, aku dalam perjalananku menuju bab itu lagi.
            Malam itu aku menghabiskan waktu di pub yang sudah lama sekali tidak kudatangi. Aku menegak bir dari botol berleher panjang. Aku tidak berencana untuk mabuk, hanya melepas penat. Aku hendak keluar dari pub itu karena merasa akan butuhnya asupan nikotin dalam darahku. Ketika aku lihat kau tepat di luar pintu pub dengan kursi rodamu, terpapar hujan. Aku pikir aku bermimpi, dan terlalu banyak minum. Tapi itu benar dirimu. Jadi aku keluar, meletakkan rokok dan botolku, serta memasukkan kembali zippo ke dalam kantung celana.
            Aku hendak marah padamu karena bersikap begitu bodoh. Aku hendak memakimu, hendak mendebatmu, dan baru kemudian akan memaksamu masuk mobilku dan mengantarmu pulang. Tetapi ketika tiba di hadapanmu aku hanya tergugu. Terjatuh di kedua lututku, membuat kita menjadi sama tinggi. Ironisnya, hal ini terlihat lucu. Kita sama tinggi, seperti di awal-awal persahabatan kita. Ketika kau masih lincah dengan dua kaki mungilmu. Ketika kau dengan seluruh kegiatan kakimu menari, berjalan, melompat, berlari.
            Entah bagaimana, kita sepakat untuk memulai dari awal lagi. Sebagai pasangan yang benar-benar baru. kita naik ke dalam mobilku dengan tawa dan canda.
***
            “aku sudah menemukan semua bukti yang ada. Apapun yang kau perlukan. Ini truk dan supirnya yang mabuk yang menabrak SUV kalian tahun lalu. Aku menemukan tempat tinggalnya, sekarang ia menjadi buruh bangunan tidak tetap. Aku sudah mengurus semuanya, kau bisa menuntutnya.” Suara Jess membuyarkan lamunanku. Aku tidak yakin sejak kapan dia datang, yang pasti dia sudah duduk sangat nyaman di kursi di hadapanku.
            Aku menatap photo yang disodorkannya kepadaku. Seorang lelaki berusia 40-an dengan kumis tebal, dan bekas luka di wajahnya. Sesaat perasaan panas seperti hendak menelanku. Tetapi hanya sebentar.
            “cari, dan beri dia beri pekerjaan.” Aku berdiri hendak meninggalkan ruanganku.
            “kupikir kau mau membalaskan dendammu selama ini? penghormatan terhadap sahabatmu yang terenggut nyawanya.”
            “aku sudah.” Aku membalik badan dan berjalan perlahan keluar menggunakan dua tongkat bantuku. Menuju kemana belum pasti, mungkin coffe shop yang belum pernah berani kuinjak setahun terakhir ini. yang pasti kali ini tanpa rasa takut. Sekarang kau bisa tidur lelap, Naomi.

catatan kepada rindu

rindu
kemanakah engkau berlabuh
membawa sendu hati-hati yang ditinggalkan
kepada siapakah engkau pulang
ditemani senja merah
ketika matahari tinggal setitik ditelan garis horizontal
kemanakah engkau pergi
disaat bulan muncul
dimana pintu-pintu sudah terkunci dan hanya setitik lampu di ujung jalan
rindu, pernahkah kau menginginkan seseorang
sebagai penamba hatimu
mengapa kau begitu jauh
begitu tak tersentuh
mengapa kau selalu sendiri, tidakkah kau kesepian
tidakkah kau lelah menggelayuti kami
jawab aku
karena aku lelah
menanti tanpa kepastian
berkorban tanpa hasil
berlari tiada henti
dan menangis tanpa pundakmu