Sebenarnya ia lelah bertengkar terus dengan
Abel. Ia mau hubungannya dengan Abel kembali seperti dulu. Ketika mereka bisa
tertawa bersama. Menghabiskan waktu tanpa kesalah pahaman seperti sekarang.
Sheila segera meninggalkan abel dan mencari tempat duduk di pojok yang jauh
dari Abel.
‘harusnya
nggak gini. Ngapain juga sih gue nanggepin cowok ngga jelas macem Abel. Bikin
capek doang!’
gerutu Sheila dalam hati.
Dengan langkah cepat dan menghindari kontak
langsung dengan Abel, sheila masuk ke ruang periksa ketika namanya dipanggil.
ketika keluar sheila membawa lembaran kertas berisi resep-resep yang harus
ditebusnya. Ia menghindari kontak dengan Abel ketika mereka berpapasan lagi.
Sheila hanya mendengus dan memalingkan muka.
Segera setelah menebus obatnya. Ia melajukan
motornya dngan kencang. Berharap segera sampai di rumah. Angin malam menusuk
kulitnya yang berbalut jaket yang tampaknya tidak mampu melindunginya dari
haawa malam. Ia merasa sangat rapuh, bukan karena sedang sakit. Tapi karena
pertemuannya dengan Abel tadi. Memaksanya membuka kembali kenangan lamanya.
Sheila terduduk di ranjangnya tanpa bisa
berbuat apa-apa. Memori membawanya ke beberapa bulan lalu. Ketika semua
baik-baik saja. Ketika semua masih menyenangkan. Semua itu membuat sakit kepala
Sheila semakin menjadi. Sheila tidak tahu sejak kapan ia menjadi gadis cengeng.
Tapi Ia tertidur dengan air mata tergenang malam itu.
Paginya sheila bangun karena panggilan bunda. “makan dulu
sana. Ntar minum obat, gue mau kuliah dulu ya. Ada kelas pagi. Lu udah
dimasakin tuh sama bunda lo.” Kata riska sambil berlalu. Riska adalah
mahasiswa yang kost di rumah Sheila. Riska juga udah dianggap keluarga sendiri.
Sheila merasa sangat beruntung bahwa ia mempunyai teman yang lebih dewasa
seperti Riska. Riska menjadi semacam kakak perempuan bagi Sheila. Bagi sheila
itu sangat melegakan. Karena ia cenderung gadis introvert.jadi kehadiran Riska
memang sangat dibutuhkan dan membantu.
Sheila turun dari kasurnya dan mengenakan
jaket biru milik kakaknya yang kebesaran. Di dapur bunda sudah menyiapkan
sarapan bagi Sheila. Nindya adiknya sudah berangkat sekolah. Sebentar lagi
bunda juga akan berangkat kerja. Itu artinya dia akan sendirian lagi di rumah.
Menguntungkan juga karena ia juga sedang tidak ingin diganggu.
Bunda mengecek suhu badannya. Masih cukup
panas. Bunda menyuruhnya berbaring di kamar saja. Setelah menyiapkan makan
siang untuk sheila, Nindya, dan riska bunda meninggalkan Sheila sendiri.
Setelah mandi Sheila kembali ke kamarnya.
Terlalu lelah untuk melakukan apapunia memutuskan untuk berbaring lagi. Ia
sungguh ingin melakukan sesuau untuk mengalihkan pikirannya dari pertemuannya
malam tadi dengan Abel. Tetapi tubuhnya sendiri melakukan perlawanan.
Sheila dan Abel dulu adalah pasangan yang
saling menjaga. Sheila menyayangi Abel. Abel terlebih lagi. Tetapi, untuk
beberapa saat di masa-masa down Sheila kurangnya komunikasi antara mereka
berdua membuat semuanya semakin runyam. Tiang kepercayaan mereka yang sudah
retak runtuh ketika Sheila mengetahui
pengkhianatan Abel. Abel sendiri sebenarnya tidak ingin melakukan itu. Tetapi
ia kehabisan cara untuk berkomunikasi dengan Sheila, dan akhirnya jenuh. Dengan
perasaan sayang kepada Sheila yang masih tersimpan Abel membagi sedikit ruang
hatinya kepada Meggy. Gadis yang ia kenal dari temannya. Sheila semakin
terpuruk pada masa-masa down itu.
Sampai sekarang hubungan mereka berdua belum
membaik. Keduanya belum pernah mengucapkan kata putus. Tetapi mereka sama
sekali belum berkomunikasi selama 2 bulan ini. Awalnya Abel berusaha
memperbaiki hubungan mereka berdua. Abel masih sering mendatangi rumah Sheila.
Walaupun hanya berbincang dengan Bunda karena Sheila selalu menolak
menemaninya.
Lama kelamaan sikap diam sheila berubah
menjadi sikap menolak dan menentang. Abel tidak tahu berapa lama waktu yang
dibutuhkan Sheila untuk memaafkanya. Tetapi, ia semakin lelah. Jika ditanya tentang
perasaannya tentang Sheila. Sejujurnya ia masih merasa sayang pada Sheila.
Begitupun Sheila. Sayangnya, Sheila merasa telah dilecehkan dan terlalu egois
untuk kembali pada Abel.
Sorenya ia bangun. Keadaannya masih belum
membaik. Ia baru menyadari bahwa ia belum memegang handphone sejak kemaren
malam dari rumah sakit. Ia berusaha meraih handphonenya tetapi a tidak dapat
menemukannya di rak sebelah kasurnya. Juga di lemari belajarnya. Sheila
memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Tidak percaya bahwa ia sama sekali
tidak melakukan apa-apa hari ini.
Bertepatan dngan Sheila selesai mandi, Riska
pulang. Riska juga langsung mandi lalu menghampiri kamar Sheila dengan bungkusan
putih. “hi,
Sheil. Keganggu nggak?”
tanya Riska sambil mengetuk pintu kamar Sheila. “nggak kok mbak. Masuk
aja, cuman lagi cari handphone. Hehe, bawa apaan tuh mbak?” Sheila
menunjuk bungkusan yang tadi dibawa-bawa Riska. “oh, ini cuman bawain
lo makanan. Sekalian buat bareng. Mumpung gue beli banyak nih. Buat entar makan
malem ya.”
Jelas Riska.
Sheila menghabiskan waktu hingga saatnya makan
malam di kamar ditemani Riska. Nindya sendiri masih asyik dengan temannya yang
akan menginap.bunda memanggil dari bawah untuk makan malam. “nggak usah masak,
Bun. Tuh mbak Riska bawa masakan banyak. Makan enak kita kali ini.”seloroh sheila.
Sheila, bunda, dan Riska menghabiskan makan malam mereka sambil bercerita.
Riska bercerita tentang dosennya yang selalu lupa, Bunda bercerita tentang
langganannya yang selalu bingung menentukan tema pestanya sendiri. Sementara
Sheila sendiri lebih banyak mendengarkan.
Malamnya, sheila mendatangi kamar Riska. Orang
yang sudah menjadi sahabat sekaligus kakaknya itu sedang sibuk dengan bahan
kuliahnya. Laptop dalam kondisi siaga didepannya. Terbuka situs dari om google,
juga smartphone nya yang selalu bergetar. Sejenak Sheila memutuskan untuk
kembali ke kamar supaya tidak mengganggu Riska, tetapi Riska keburu memanggilnya. “masuk aja. Lagi
nggak sibuk. Cuman online aja.”. sheila masuk sambil htersenyum malu karena
ketahuan mengintip.
“Gue tahu lo lagi capek, Sheil.walaupun gue
nggak tahu capek kenapa. Tapi keliatan banget. Gue enggak tahu bunda lo nyadar
apa engga. Tapi beberapa bulan ini lo jadi tambah nggak peduli sama apa-apa
yang terjadi di sekeliling lo. Sori lo. Itu cuman pendapat gue aja walaupun lo
nya nggak minta.”
Kata Riska ketika Sheila menghempaskan diri di kasurnya dngan keras.
“nggak apa-apa lagi. Gue malah seneng kalo ada
yang ngingetin gue. Rasanya ada yang merhatiin. Hahaha.”jawab Sheila.
“emang kenapa, Sheil? Mau cerita nggak. Mumpung
sama-sama lega disini, lo nggak ada pekerjaan yang nunggu kan? Gue juga nih.”Riska
menyodorkan bantuan. Sesaat Sheila pikir ia igin membuka semuanya ke Riska
malam itu juga. Rasa sakit yang ia pendam selama 2 bulan terakhir ini. Tentang
Abel.
Tetapi, tiba-tiba alam bawah sadar Sheila
menolak. Ia tidak mau terlihat lemah. Tidak mau menjadi gadis cengeng di
hadapan Riska malam itu. Karena setiap membahas Abel ia pasti tertohok dengan keadaan
hubungan mereka saat ini. Akhirnya Sheila hanya tersenyum dan menggelengkan
kepalanya. Riska menghembuskan nafas heran. ‘susah deh, Sheila kalo udah gini. Gimana ada
yang bisa bantu dia, kalo dianya menutup diri terus?’ pikir Riska
dalam hati.
Sheila sudah bisa masuk sekolah keesokan
harinya. Walaupun masih sedikit pucat, ia sudah merasa lebih baik dan cukup
kuat untuk mengikuti pelajaran.Ia merasa lebih sehat di sekolah. Dengan
teman-teman disekelilingnya, canda tawa mereka membawa senyum di bibir Sheila.
Perlahan pipi Sheila mulai memerah lagi. Walaupun suhu tubuhnya tidak turun ia
merasa lebih ringan melakukan emuanya. Sekolah lebih cepat menyembuhkan
sakitnya daripada obat dari dokter.
“eh, Sheil, kok lo tadi ke sekolah sendiri sih?
Lo kan lagi sakit. Emangya Abel enggak nganterin ya?” tanya Jean
iseng. Sheila cuman membalas dengan senyum terkulum.
Sheila pulang ke rumah dengan setumpuk tugas
dan catatan yang harus ia kejar selama 2 hari tidak masuk. Belum lagi ulangan
susulannya. ‘kalo
tugas numpuk gini sih sama aja. Kapan gue istirahatnya.” Gerutu Sheila.
Seharian Sheila habiskan dengan mengerjakan tugas-tugasnya. ‘Pokoknya gue
harus selesein hari ini juga!’ tekad Sheila.
Sampai jam makan malam pun tugas-tugas yang
harus dikerjakannya belum selesai. Ia mulai bersungut-sungut. Kepala nya terasa
semakin berat. Bunda mengajaknya makan dan meninggalkan tugas-tugasnya yang
berserakan di kamar. Masakan bunda terasa pahit di lidahnya. Ia menyendok
sedikit demi sedikit. Tetapi lama-lama ia merasa kenyang. Bunda menyuruhnya
menghabiskan makan malamnya. Tetapi perutnya sungguh mual. Ahirnya ia minum
obat dan langsung kembali ke kamar. Ia tidak jadi menyelesaikan tugasnya hari
ini. Dia akan mengerjakan lagi besok. Kepalanya kembali terasa berat, jadi ia
kembali ke kaasur dan tertidur hingga pagi.
Ketika Sheila hendak berangkat sekolah, Riska
menawarkan untuk mengantarnya. “udah lah, lo ikut gue aja. Pasti gue anter
sampai sekolah kok. Ntar siangnya gue jemput sekalian. Lo kan lagi nggak fit.
Nggak mungkin juga naik motor atau bus. Kalo kenapa-napa kan semua juga repot.”bujuk Riska.
Riska duduk di kursi pengemudi. Ia baru saja
dipinjami mobil oleh tantenya untuk mengantar pesanan tantenta dari butik
langganan. Sheila duduk di depan, sementara di kursi belakang ada cewek bernama
Kamaya. Penghuni kost baru di rumahnya. Ia berasal dari surabaya. Ia pindah ke
kota ini untuk melanjutkan kuliah ke universitas yang sama dengan kekasihnya.
Sementara Riska sendiri pindah hanya untuk melepaskan kepenatan dari kota nya
yang lama.
Sheila hampir tertidur ketika Riska sampai di
gerbang sekolahnya. Perjalanan antara rumahnya dan sekolahnya memang tidak
terlalu jauh. Tetapi cukup untuk membuat dirinya yang kelelahan menjadi
mengantuk. Ditambah alunan lagu sendu yang diputar oleh Riska Setelah memberi
tahu jadwal pulangnya kepada Riska ia turun dan segera menuju kelasnya sebelum
pelajaran pertama dimulai.
Lagi-lagi ia bertemu Abel. Di toko kaset hari
ini ketika ia menemani Nindya dengan Riska. Nindya yang pertama kali melihat
Abel langsung menyapanya. “Kak Abeeel!” teriak Nindya memanggil Abel. Abel yang saat
itu sedang memilih cd untuk dicoba menoleh karena suara kecil yang dikenalnya
itu. Abel memasang senym yang lebar saat bertemu Nindya. Hanya basa-basi biasa.
Sheila yang berpura-pura sibuk mendengarkan lagu mengencangkan volume headphone
nya. Tetapi ia bisa merasakan tangan Nindya yang menunjuk ke arahnya dan Riska.
Lalu tatapan Abel yang tak sengaja dilihatnya. Keduanya langsung memalingkan
muka. Sementara Riska yang melihat adegan itu hanya menggeleng-gelengkan kepala
dengan heran. Jadi itu yang membuat Sheila murung selama beberapa waktu
terakhir? Riska bertanya-tanya sendiri.
‘memangnya ada apa antara kamu sama Abel sih?” tanya Riska
membuat Sheila tersentak. Ia berusaha menutupi kekagetannya dengan minum.
Tetapi ia malah tersedak fanta yang diminumnya. Sheila dan Riska juga nindya
sedang makan malam dengan menu Mcdonald di sebuah mall. Nindya sendiri sedang
asyik degan mainan barunya.
“Nggak ada apa-apa kok. Aku sama dia biasa aja.” Jawab Sheila
berusaha tidak menyebutt nama nya.
“nggak usah bohong sama gue, Sheil. Gue ngerti
lo kok. Masa tadi kalian ketemu di toko kaset diem dieman lo bilang enggak ada
apa-apa.”
Tukas riska tak percaya. Sheila hanya menghembuskan nafas berat.
“lo mau ngomongin soal ini?” tanya Riska
lagi.
Sheila menggeleng. “nggak sekarang.
Gue masih bingung mau cerita apa.”
“gue
mau ke tempet temen gue. Temen gue
katanya mau ngasih sesuatu. Ntar kalo makanan gue bagi deh. Sekarang lo naik
dulu, ntar gue langsung pulang. Nih, kunci kamar gue kalo lo mau ke kamar gue
dulua. Nanti kita cerita-cerita. Tenang aja. Everythings will be alright,
darling. Okay? Bye.”
Sheila segera turun dari mobil mungil itu bersama Nindya. Setelah mengantar
nindya ke kamar tidur ia sendiri ke kamarnya untuk berganti baju. Lalu ia
mengambil kunci kamar Riska dan menunggu Riska di dalamnya.
Kamar Riska mempunyai ukuran yang sama dengan
kamarnya.Bedanya di kamar Riska berisi berbagai oleh-oleh dari berbagai kota.
Juga boneka-boneka yang dijadikan satu di kasurnya dan di karpet dekat
kasurnya. Riska memang cukup cantik, ia memiliki badan yang sedap dipandang,
dan otak yang cukup tajam. Banyak juga mahasiswa yang berusaha mendekatinya.
Sheila tahu itu, apalagi dia pernah kena getahnya. Banyak mahasiswa yang
mendatanginya hanya untuk menggali informasi tentang Riska. Sayangnya, Riska
sendiri tidak tertarik untuk menanggapi secara serius. Baginya semua itu hanya
untuk main-main saja.
Tak lama Riska datang membawa bungkusan cokat
besar. Ia juga membawa kotak hitam seukuran clutch bag kecil. Isinya boneka dan
coklat. Sheila heran bagi Riska hadiah turun begitu saja ke atasnya. Riska
mengambil satu batang coklat kecil dan menyodorkannya pada Sheila.Diambilnya
coklat itu dan ia mengucapkan terima kasih kepadanya. Selalu begitu, jika Riska
mendapat sesuatu Sheila juga yang pertama diberinya. Selain itu Riska juga
tidak suka memamerkan hadiah-hadiah itu. Hadiahnya hanya disimpan dan
dirawatnya. Sheila sering bertanya-tnya bagaimana ia pulang ke kotanya dengan
barang bawaannya ini. Sheila menyukai Riska karena hal itu.
Dimulai dari hilangnya komunikasinya dengan
Abel, lalu sikapku yang mulai menjauh. Dan akhirnya pengkhianatan Abel, hingga
sikap saling memusuhi satu sama lain. Sheila sadar bahwa seharusnya ia
memaafkan Abel. Ia merasa awal masalah ini ada di dirinya. Lalu ia juga
menghindari komunikasi dengan Abel. Sudah hampir satu tahun mereka bersama.
Sheila ingin ia dan Abel saling memaafkan dan kembali seperti dulu.
Tapi tampaknya memaafkan tidak segampang yang
diucapkan. Walaupun mereka berdua mengerti bahwa mereka ingin bersama lagi.
Semua itu tidak cukup karena keegoisan mereka masing-masing. Sheila merasa
bahwa Abel seharusnya malu dan menerima ganjaran yang setimpal. Selama ini ia
menolak beromunikasi hanya untuk melihat kesungguhan dan sampai mana Abel mau
menunggu dirinya yang hancur pulih kembali. Ia tidak mau berkomunikasi terhadap
Abel juga karena ia tahu, ia tidak akan betah jauh dari Abel lagi bila ia terus
berhubungan dengan Abel.
Bagi Abel, Sheila keterlaluan. Sengaja
menggantugkan dirinya. Walaupun begitu Sheila adalah orang yang paling
disayanginya saat ini. Ia membutuhkan Sheila, begitu juga Sheila
membutuhkannya. Andai saja Abel dapat kesempatan kedua. Ia berjanji dengan
sungguh-sungguh, tidak akan mengkhianat Sheila, ataupun membuat Sheila
tesakiti.
Malam itu dikamarnya Abel juga memikirkan
Sheila untuk yang kesekian kalinya hari itu. Ia tertegun sendiri mengingat
semua kenangan tentang Sheila. Ia membuka lemarinya dan mengambil pigura yang
sejak 7 minggu lalu disembunyikannya. Di pigura itu terpasang fotonya dan
Sheila ketika mereka bersama teman-teman menghabiskan liburan di Jogja. Di
photo itu terlihat sheila dengan senyum lebar. Mengenakan kacamata. Rambutnya
masih panjang sebahu.
Photo itu juga mengingatkanya pada hari dimana
Sheila melihatnya jalan bergandengan dengan Meggy. Abel dan meggy baru saja
pulang dari makan siang di sebuah mall. Sheila juga baru saja memotong rambutnya.
Ia hendak menghubungi Abel ketika memergoki Abel. Entah siapa yang lebih
terkejut. Tetapi keduanya sama sama tercengang. Sheila segera pergi
meninggalkan pasangan yang baru saja mematahkan hatinya itu.
Abel berusaha mengejarnya, meninggalkan Meggy
sendiri. Tetapi sudah terlambat bagi Abel untuk menjelaskan kepada Sheila,
untuk membuat Sheil mengerti. Bahwa sebenarnya Meggy bukanlah orang yang
dipilih dan disayanginya. Tetapi Sheila. Sheila orang disayanginya sampai saat
ini.
“Lo
masih sayang kan sama Abel? Gue juga yakin Abel masih sayang sama lo.”kata Riska
ketika Sheila melihat-lihat koleksi bukunya malam itu. Sheila tertegun “Tapi gue
ngerasa egois banget selama ini ke dia. Gue udah ngediemin dia. Gue udah minta
dia nunggu.”sesal
Sheila. “that’s what we do
when we love someone. Understand, care. We wait. That’s what love is.
Love is sacrifice. But, that’s the beautiful side.”Sheila menatap
Riska dengan pahit.
Abel memutuskan untuk meminta maaf dan meminta
kejelasan hubungan mereka. Abel bisa mengerti mengapa sungguh sulit memaafkan
apa yang dilakukannya dulu bagi Sheila. Baru saja hendak berangkat menuju
sekolah untuk menjemput Sheila, handphone nya berdering. Nama dan photo Meggy
tertera di layar handphonenya. Meggy masih terus menghubunginya. Dengan enggan
ia mengangkat panggilan itu. Ia harus memberi kejelasan kepada Meggy.
“Abeel,
its so hard to talk to you! We really need to talk, i’ll see you
okay? I’ll
be there a..”
“No,
I’m sorry, Meggy.” Sela Abel
“Its
about her, huh?”
“yeah.
Im so sorry but..”
“you
still love her. How could you be so patient. She’s definitely dump you!
Im here. Why dont you care about me. Listen to me..”
“No,
Meggy. You listen to me. I’m sorry, but from the start you know i still
love her. And you deserve someone better than me. Someone who loves you.”
Sambungan terputus. Abel tahu Meggy kecewa
terhadapnya. Masa bodoh, pikirnya. Abel segera menuju sekolah Sheila.
Sayangnya, ketika sampai di sekolahnya Sheila sudah pulang terlebih dahulu. Dengan
kecewa Abel menuju mobilnya. Mungkin lain kali, pikirnya.
Abel menghubungi Sheila malam itu. Panggilan
pertama diabaikan, panggilan kedua tersambung. “halo.” Suara Sheila
terdengar. Dingin , dan jauh. “hai, Sheil. Aku ingin mengatakan sesuatu.
Kuharap kau tidak marah.”kata
Abel. Tiba-tiba saja ia kehilangan semua yang ingin dikatakannya. Diam sejenak.
“aku
tidak bisa membicarakan ini di telepon. Dan aku benar-benar minta maaf Sheila.
Aku hanya ingin semua diantara kita bisa clear. Kita harus bertemu, sheila.
Halo? Sheila? Kau masih disana?”tanya Abel ketika menyadari sedari tadi Sheila
diam saja. Lagi-lagi diam. “Yah, tentu.”akhirnya Sheila menjawab. “Jadi kapan kita
bisa bertemu? Mungkin besok pagi aku beritahu tempatnya. Oke? Bye Sheila.”kata Abel
mengakhiri perbincangannya dengan Sheila.
Sheila memutuskan panggilan itu. Dimasukkannya
handphone nya ke tasnya lagi. “siapa?” tanya Riska yang sedang bersiap hendak pergi.
“bukan
siapa-siapa. Yok, keburu malem nih.” Bohong Sheila.
Malamnya Sheila menerima pesan dari Abel tempat
mereka akan bertemu. Sheila menyetujui nya, tetapi dia menyembunyikannya dari
Riska. Sheila terus memikirkan pertemuannya yang akan datang dengan Abel.
Apakah akan sama seperti yang sebelumnya, diakhiri dengan pertengkaran, atau
sama seperti dulu diselingi canda dan tawa. Sheila berharap pertemuannya dengan
Abel akan menghasilkan jawaban pasti atas status hubungan mereka.
Kai kakaknya marah ketika mengetahui bahwa
Abel mengajaknya bertemu. “Sheil, dia itu udah pernah nyakitin kamu. Aku
nggak mau dia nyakitin kamu lagi Sheil. Kamu tau kan kakak sayang sama kamu.
Kakak nggak mau kamu dibohongin lagi sama dia.”. “kak, aku pengen
semua diantara aku sama Abel clear. Kakak kan tahu aku sayang sama Abel. Sheila
juga sayang sama kakak kok.”. hening sejenak di telepon. “kakak mau kamu
nggak usah ketemu sama dia. Kakak yang bakal ketemu sama Abel sendiri.”jawab Kai. “kak, yang bener
aja. Kamu kan di Tanggerang. Udahlah kak, kakak kuliah aja yang bener. Mestinya
sheila emang enggak ganggu kakak. Yauda, kakak istirahat aja deh jangan main
mulu. Kuliah, trus balik lagi sama Sheila, Nindya, sama bunda disini.disini
sepi enggak ada kakak. Enggak ada cowoknya tau kadang Sheila bingung nggak ada
yang disuruh-suruh sama diejekin. Oke? Dadah kai.” Sheila menutup
panggilan telepon dengan cepat. Ia takut jika Kai berbicara dengan Abel.
Sementara Kai hanya menggeleng-geleng kepala bingung. Mungkin Sheila memang
sudah besar, pikirnya.
“Mau
kemana, sayang?”tanya
Bunda ketika Sheila hendk keluar rumah. “Mau ketemu temen, bun. Udah terlanjur janji
nih.”
Jawab Sheila. “Sini
deh, duduk dulu Sheil. Bunda mau ngomong sama kamu.” Bunda menarik
kursi di dekatnya. Sheila memutar matanya dan duduk di samping Bundanya. “keburu telat,
bunda.”
Protes Sheila. “kamu
tuh bunda cuman mau tanya hubungan kamu sama Abel. Kalian udah putus? Kok bunda
lihat kamu jarang jalan bareng sama Abel lagi.”tanya bunda. Bunda
bawel ih, rutuk Sheila dalam hati. “engga tau, bun. Kita lagi break aja. Dianya
lagi sibuk sama kuliah, kasian juga kan kalo Sheila ganggu terus.” Kilah sheila. “yaudah, bunda
cuman pengen Sheila jaga dri aja. Yang baik kalo bergaul, nggak usah aneh-aneh.
Nggak usah ikut yang..”.
“Bun!”rengek Sheila. “telat nih.
Keburu malem ntar.”
Sheila mengingatkan bunda untuk tidak memulai kuliahnya sekarang. Bunda
menghela nafas panjang. “ya
sudah. Awas kalo pulang malem lagi.” Ancam bundanya itu. setelah berpamitan Sheila
bangkit sambil menggerutu. Pulang malem salah, pulang telat salah, pulang pagi
salah. Nggak pulang? Salah juga. Bunda bawel, gerutunya dalam hati.
Sampai di cafe yang dimaksud Abel dia segera
masuk. Tak susah mencari Abel. Ia duduk di tengah ruangan. Abel berdiri untuk
menyambut Sheila. Tetapi mereka berdua sama-sama diam.
“Sheil.”kata Abel. Sheila diam saja lalu segera duduk.
Pelayan membawa daftar menu, mereka memesan lebih untuk mengusir pelayan itu.
“udah ngomong aja. Aku lagi males basa-basi.”kata Sheila
dingin.
“Sheila, sayang, sampe berapa lama kamu bakal
gini? Kapan kamu mau maafin aku?”itu kata yang terlontar dari mulut Abel. Sheila tidak berani menatap mata
Abel. ‘mestinya
gue langsung putusin dia begitu gue tau dia selingkuh’pikir sheila.
“Sheil. Aku cuman pengen nggak ada salah paham
lagi diantara kita. Kamu tahu, aku masih sayang sama kamu. Sayang banget.”kata Abel lagi.
Sheila tertawa sinis.terdengar lebih kejam daripada yang ia maksud.
“Sheil, janga diem aja dong. Aku disini. Lihat
aku, jangan liat kesana terus.”protes Abel. Pesanan mereka datang. Sheila
buru-buru menyedot iced chocolate nya.
“Sheil, aku sayang kamu.” Bisik Abel
lagi. Kali ini Sheila menatap matanya.“Beneran
deh, Sheil. Aku nggak bohong. Kamu tahu itu. Dan, Meggy..” Abel tak
sanggup menyelesaikan kalimatnya. “Dia bukan siapa-siapa. Cuman ada kamu.”kalimat itu
menggetarkan keyakinan hati Sheila selama ini. Sheila hendak mengatakan ‘Gue juga sayang
sama elo.’
Tapi yang keluar dari mulutnya adalah “gue butuh waktu, Bel.”.
“sampai kapan, Sheil? Apa dua bulan kurang?”tanya Abel.
“aku nggak tahu perasaan ku saat ini, Bel.”.
“aku harus ngapain lagi Sheila? Biar kamu balik
lagi sama aku, biar kamu yakin cuman ada kamu, dan aku nggak bohong. Aku sayang
kamu, Sheil. Sampai sekarang nggak berubah aku sayang kamu.”
Sheila menatap tangan Abel di depannya. Tangan
itu yang dulu menjaga Sheila. Flashback kisah antara dirinya dan Abel memenuhi
pikirannya. Sheila merasa menonton sebuah film lama. Ia merasa hubungannya yang
baik-baik saja dengan Abel sudah berlalu lama sekali. Bahkan, terasa lebih dari
dua bulan. Bahkan, saat ini semua itu terasa seperti hanya kayalannya
saja. Sheila ragu-ragu. Apakah ia akan
memaafkan Abel sekarang? Cepat atau lambat ia harus memaafkan Abel. Walaupun ia
dan Abel tidak harus bersama lagi. “soal Meggy. Dia cuman..”. Tiba-tiba ia
merasa marah Abel membawa nama Meggy kali ini. “kalo kamu sayang sama
aku, kamu ada disana waktu aku butuh kamu. Kamu nemenin aku, bantu aku.
Bukannya jalan sama cewek lain. Kamu nggak bisa ngasih bukti. Semuanya cuman di
mulut. Aku nggak butuh.”sheila
menyela penjelasan Abel.
Setelah Sheila pulang, perasaannya semakin tak
karuan. Sementara masalahnya dengan Abel belum dapat terselesaikan. Dalam hati
ia berpikir, mungkin benar apa yang dikatakan Kai. Mungkin ia tidak seharusnya
bertemu dengan Abel lagi. Kai hanya berusaha melindunginya sebagai kakak yang
baik. Malamnya Sheila membuka lagi photo-photonya bersama abel di laptopnya.
Sheila merasa sangat membutuhkan Abel saat ini.
Sheila segera mematikan
laptopnya. Ia tidak ingin menjadi cengeng. Ia merasa harus melakukan sesuatu
untuk mengalihkanpikirannya. Ia menghabiskan waktunya untuk bermain bersama
Nindya dan mengajak Riska mencoba membuat kue. Sheila dapat tertawa dan
tersenyum saat Nindya melontarkan pertanyaan anak-anaknya, atau saat Riska
memecahkan telor di tangannya. Kemudian sheila kembali ke kamarnya, dan
lagi-lagi ia teringat Abel.
Lagi-lagi pesan
masuknya penuh dari Abel. Abel menghubunginya dan ia memutuskan mengangkatnya
dalam panggilan kedua. “Sheila?” suara Abel terdengar
sendu. Menanti, mencari, memohon. Bukan Abel yang dikenalnya. Bukan Abel yang ‘pernah’ dikenalnya.
Mungkin ia memang tidak pernah mengenalnya. “Sheila?kamu denger
aku?”Sheila
menguatkan dirinya untuk tidak mengatakan bahwa ia merindukannya saat ini. ‘i need you to get me back to the right path’kata itu ada di
dalam batin Sheila. “Iya,
kenapa?”hanya
itu yang keluar. Bahkan ia mendengar suaranya sendiri terlalu rapuh. “aku mau kamu
jawab aku. Sekarang. Kamu masih sayang nggak sih Sheil sama aku?
Kamu masih mau lanjut sama aku engga? Apa emang kamu mau sampai disini aja
cerita kita?”
tanya Abel. Suaranya serak. ‘Radang lagi?’ Sheila
bertanya-tanya dalam hati.“Tanya
itu ke diri kamu.”jawab
Sheila, karena sebenarnya ia tidak ingin Abel mengetahui perasaannya yang sebenarnya.
“Jujur, Sheil.
Aku enggak ingin semua tentang kita stuck disini. Jujur, ini bukan harapanku
tentang ending kita. Aku masih sayang banget sama kamu, Sheil. Aku tahu ini
kedengarannya bodoh di telinga kamu yang benci hal-hal cengeng. Tapi aku jujur,
Sheil. Maafin aku! Aku pengen kamu disini, Sheil. Aku pengen semua cerita kita,
tawa kita, kebersamaan kita diulang lagi. Aku serius, Sheil. Aku bilang ini
karena aku sayang, masih sayang, dan bakal tetep sayang sama kamu. Oke, memang
yang terakhir terdengar sangat bodoh. Tapi aku serius sama kamu. Aku janji
bakal berubah, demi kamu.”Sheila
merasa hawa panas di matanya dan pandangannya kabur. Ia mengerjap-ngerjapkan
matanya. Ia ingin mengatakan bahwa sejujurnya itu bukan hal bodoh baginya.
Karena ia juga merasakan hal yang sama.
Sheila baru saja akan
membuka mulut dan memaafkan Abel ketika penolakan dalam dirinya keluar lagi. “Maafin aku bel. Kalo aku belom cukup buat
kamu. Aku enggak bisa rubah kamu. Karena seharusnya memang aku enggak merubah
kamu, Bel. Maaf juga kalo ending kita beda sama apa yang kamu harap. Aku udah
maafin kesalahanmu dulu. Aku sayang kamu, Bel. Selamat malam, Selamat tinggal.”Sheila memutuskan panggilan itu. Ia menutup
pintu kamarnya. Menangis.
Keesokan paginya
Sheila bangun dengan kepala pusing. Menyeret dirinya ke kamar mandi sambil
berusaha mengingat kejadian tadi malam. Ia berharap matanya tidak sembab,
karena ia tertidur dalam tangisnya. Bantalnya perlu dijemur. Ia menatap ke
cermin sambil menggosok gigi. ‘Bagaimana
perasaan Abel sekarang? Apa dia merindukanku? Apa dia seddang bersama Meggy?
Apa mereka berdua membicarakanku?menertawakanku?’
pikiran Sheila dipenuhi tentang Abel, yang tiba-tiba membuatnya marah. Ia
merasakan pukulan kecil pada perutnya. Ia merasa sangat kesal dan kecewa pada
Abel. Karena mengkhianatinya, terlebih melepasnya begitu saja. Jadi kebersamaan
mereka selama ini tidak dianggap serius. Bahkan hanya dengan satu panggilan
telepon, semuanya kabur dan pergi. Seakan semua itu tidak pernah ada.
Sheila mungkin telah
melepaskan Abel. Telah keluar dari kehidupannya bersama Abel. Tapi,
sesungguhnya ia tidak pernah melepaskan Abel. Abel akan selalu menjadi bagian
dalam hidupnya. Karena Abel akan selalu memiliki sedikit ruang di hatinya. Sedikit
rasa sayang, dan meninggalkan sedikit luka. Yang tidak akan mampu disembuhkan.
Bahkan oleh waktu.
Tadaaa, itu dia ini asli bikinan gue dear. jadi ya maaf kalo jelek, hahaha. lagian itu gue bikin udah lama. jamannya kelas X kalo ga salah. eh iya deng, bener kelas x. gue sama sekali ga merhatiin format atau apalah, yang penting jadi. itu penulisannya banyak yang salah ya? udah gue benerin beberapa doang tapi. waktu Dita masih disini, dia pernah baca dan ya, dua puluhan kesalahan pengejaan. hehehe =))
enjoy ya! <3
oyy
ReplyDelete